Jumat, 31 Agustus 2012

badah wakaf dalam al-hadis


Badah Wakaf Dalam Al-Hadis

PDFCetakEmail
Selain didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, sumber rujukan hukum yang dijadikan sebagai landasan pelaksanaan ibadah wakaf oleh masyarakat Islam ialah Sunnah atau Hadis Muhammad Rasulullah saw. Secara umum yang dimaksud dengan as-Sunnah atau al-Hadis adalah semua perkataan/ucapan, perbuatan, sikap dan termasuk diamnya Rasulullah Muhammad saw.
As-Sunnah atau al-hadis yang selalu dijadikan para ahli fikih sebagai dasar hukum ibadah wakaf antara lain hadis-hadis seperti dijelaskan di bawah ini.
Hadis Pertama
Hadis yang selalu dijadikan oleh ahli fiqih sebagai landasan hukum wakaf adalah hadis yang merupakan jawaban Nabi Muhammad s.a.w. ketika Umar bertanya tentang tanah yang dimilikinya di Khaibar. Hadis tersebut maknanya sebagai berikut:
“Dari Ibnu Umar r.a. Berkata, bahawa sahabat Umar r.a. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang meguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”(Muslim, No.1000, Al-Bukhari, No. 2737)
Kata-kata ”kamu tahan tanah itu, dan kamu sedekahkan hasilnya” dalam hadis tersebut difahamkan oleh para ahli fiqih sebagai wakaf. Apalagi kemudian Umar menindaklanjuti arahan Rasulullah tersebut dengan cara menyedekahkan hasilnya dan tidak menjual, tidak menghibahkan dan tidak pula mewariskan tanah tersebut.
Hadis Kedua
Hadis lain yang lazim dijadikan sebagai dasar hukum wakaf adalah hadis yang artinya sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah r.a., bahawa Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga. Iaitu sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak yang saleh yang mendoakannya” (Muslim, No.1001).
Seperti dipetik Ahmad Azhar Basyir (1987: 7), Al-Kahlani mengemukakan bahawa  Sedekah jariah dalam hadis tersebut ditafsirkan sebagai wakaf karena para ulama menempatkan hadis tersebut dalam bab wakaf, oleh karena itu para ulama menafsirkan sedekah jariah dengan wakaf. Selain itu dari segi makna, sedekah jariah adalah sedekah yang manfaatnya terus menerus mengalir tanpa henti. Dari ibadah sosial yang ada dalam Islam (zakat, infaq, sedekah dan wakaf serta yang lainnya) yang memberikan manfat secara berterusan adalah wakaf, karena harta wakaf tidak boleh habis, yang digunakan adalah hasil atau manfaatnya. Oleh karena itu sepanjang harta wakaf tersebut memiliki hasil dan bermanfaat, maka orang yang bersedekah (wakaf) memberi imbalan pahala yang tidak pernah berhenti. Pahala wakaf itu mengalir bagaikan air sungai tidak pernah berhenti.

Hadis Ketiga
Hadis ketiga yang selalu dijadikan sebagai landasan hukum pelaksanaan ibadah wakaf ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang artinya sebagai berikut: Dia berkata, bahwa Rasulullah bersabda; Barang siapa menahan (ihtibasa) seekor kuda  untuk keperluan kebaikan di jalan Allah dengan iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka semua badan kuda itu bersama dengan kotorannya akan ditimbang sebagai amal kebajikan di hari akhirat (Diriwayatkan Abu Hurairah).
Kata-kata ihtibasa yang berarti “menahan” dalam hadis tersebut dimaknai oleh para ahli fikih dengan wakaf. Hadis ini juga dijadikan oleh para ahli fikih sebagai landasan hukum dibolehkannya berwakaf dengan objek wakaf atas benda selain tanah, yaitu barang-barang bergerak seperti kenderaan, buku-buku, bahkan dalam bentuk uang (wakaf uang).
Hadis Keempat
Selain ketiga hadis di atas, hadis lain yang lazim dipergunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan ibadah wakaf ialah hadis dari Utsman, yang artinya: Sesungguhnya Nabi telah datang ke Madinah, disana tidak ada air yang baik untuk diminum kecuali sumur Rahmat. Nabi berkata: “Barang siapa membeli sumur Rahmat dan menjadikan timbanya bersama-sama dengan timba kaum muslimin, maka ia akan masuk surga”. Kemudian Utsman berkata: Kemudian saya membelinya dengan hartaku Sendiri (Nailul Authar, 25)
Kalimat “membeli sumur Rahmat” dalam hadis tersebut difahamkan sebagai ibadah wakaf, sedangkan kata “menjadikan timbanya bersama-sama dengan timba kaum muslimin” dimaknai bahwa harta wakaf itu memberi manfaat kepada orang banyak, dengan kata lain berguna untuk kemaslahatan umum.
Hadis Kelima
Hadis lain yang selalu dijadikan sebagai dasar hukum wakaf adalah hadis dari Anas bahwa Abu Thalhah berkata; Ya Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman: Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan sebelum kamu menafkahkan sebahagian dari harta yang kamu cintai. Sesungguhnya harta yang paling saya senangi ialah kebun di Baihura! Harta itu kujadikan sedekah untuk Allah. Tempatkanlah ya Rasulullah menurut apa yang telah ditunjukkan Allah kepada Anda. Rasulullah bersabda: Bakh! Bakh! Itu harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar dan aku telah ditunjukkan untuk kau sedekahkan harta itu kepada famili terdekat. Abu Thalhah berkata: saya akan melaksanakan ya Rasulullah. Kemudian Abu Thalhah membagi-bagikan hartanya itu kepada keluarganya dan keponakannya” (Muttafaqun alaih) .
Kata “sedekahkan harta itu kepada famili terdekat” dapat dimaknai bahwa yang diberikan adalah hasil dari kebun yang disedekahkan (diwakafkan) itu, sebab kemudian Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada kaum kerabatnya. Hadis ini juga dijadikan oleh para ahli fikih sebagai dasar dibolehkannya wakaf untuk kepentingan keluarga.
Itulah beberapa hadis Rasulullah saw yang dapat dijadikan sebagai landas hukum pelaksanaan ibadah wakaf.  Dengan uraian ini, mudah-mudahan dapat mendorong kaum muslimin untuk bergiat mengamalkan iabadah wakaf, utama sekali dalam rangka memperoleh amalan yang tidak terputus walaupun sudah meninggal dunia. Apalagi sekarang ini melaksanakan ibadah wakaf bukan merupakan hal yang sulit, terutama sekali dengan dibukanya peluang untuk berwakaf dalam bentuk uang oleh beberapa pengelola wakaf uang.
Pengelola wakaf yang menerima wakaf dalam bentuk uang sekarang ini antara lain Badan Wakaf Indonesia (BWI) di Jakarta. Sedangkan untuk Sumatera Utara difasilitasi oleh Gerakan Wakaf Uang Himpinan Nazhir Wakaf Indonesia dan juga oleh Gerakan Wakaf Tunai Muhammadiyah Sumatera Utara yang dikelola oleh Pimpinan Wilayah  Muhammadiyah Sumatera Utara. Selamat berwakaf.---
Penulis adalah Dosen UMSU, peserta Program PhD ISDEV-USM dan Anggota PWM-SU.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar